Yusuf Hamka dan Akhlak Islam

author
3 minutes, 15 seconds Read

Ia keturunan Tionghoa. Dulunya ia non Muslim. Begitu juga keluarganya. Tempat tinggalnya dekat sebuah masjid. Setiap waktu salat ia mendengar suara azan dari toa pengeras suara masjid itu.

Suatu saat ibunya sakit, dan butuh keheningan dan kesunyian untuk kesembuhannya. Yusuf Hamka kemudian memohon kepada pengurus masjid untuk mengecilkan toa saat azan selama tiga hari saja, demi kesembuhan ibunya. Lalu apa respon pengurus masjid? Pengurus masjid itu ternyata tidak mengecilkan suara toa luar. Tetapi malah mematikan toa luarnya, agar ibu Yusuf yang sakit tidak terganggu dan segera sembuh. Yusuf meminta tiga hari. Tetapi pengurus masjid mematikan suara toa itu selama tujuh hari. Lebih dari yang diminta. Ini namanya akhlak.

Apa efek batin bagi Yusuf Hamka saat itu? Yusuf Hamka merasakan kebaikan pengurus masjid itu dengan sangat simpatik dan mengesankan hatinya. Ia tergetar dan terharu. Singkat cerita, Yusuf Hamka kemudian masuk Islam, menjadi muallaf. Dan ia tertarik masuk Islam karena kebaikan akhlak: akhlak baik yang ditunjukkan oleh pengurus masjid.  Sebuah agama akan menarik simpati kalangan lain karena akhlak, bukan karena suara teriak. Metode inilah yang dipraktekkan Nabi Saw saat dulu mendakwahkan Islam. Beliau memperlihatkan akhlak mulia sekalipun kepada orang yang meludahinya atau orang yang melemparinya dengan batu, dan sebagainya. Di Yayasan Wihara Dharma Bakti yang ia urus, ia mengajak para pengusaha Tionghoa yang beragama Budha untuk berbagi menyediakan makanan buka puasa kepada sesama Muslim yang tengah berpuasa. Dan upaya itu ia lakukan dengan memberdayakan para pedagang kecil warung makan seperti warteg dan lainnya (yang juga Muslim), agar usaha mereka tetap ramai dan usahanya lancar.  Di komunitas masyarakat Tionghoa yang melakukan aktivitas berbagi kepada umat Islam itu, hanya Yusuf Hamka yang Muslim. Yang lain-lainnya justru beragama Budha. Dan tanpa sekat, Yusuf mengajak mereka yang beragama Budha itu untuk berbagi dan berbuat kebajikan kepada umat Islam.

Ketika keberagamaan seseorang makin dewasa, maka pada akhirnya akhlaknya makin baik. Dan akhlak baiknya itu akan dirasakan oleh orang-orang lain. Sehingga akhlak menjadi buah yang manis, yang dirasakan masyarakat sekitar. Dalam Islam, akhlak merupakan salah satu dari tiga rukun agama. Yang pertama Iman, kedua Islam, yang ketiga Ihsan. Ihsan itulah akhlak. Iman adalah akar dari agama. Islam adalah batang, dahan dan cabang dari agama. Sedangkan Ihsan adalah buah dari agama. Agar agama seseorang bermakna, bernilai dan bermanfaat, maka ia harus menjadikan agamanya berbuah. Berakar saja tidak cukup. Berbatang dan bercabang saja belum cukup. Pohon agamanya baru sempurna menjadi agama saat pohon itu sudah berbuah, dan buahnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat manusia. Apa tujuan dari diutusnya Nabi Saw? Beliau menegaskan, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Jelas, tujuan beliau diutus adalah untuk membangun manusia yang berakhlak. Sehingga puncak keberagamaan seseorang terletak pada akhlaknya. Bukan pada yang lainnya. Lalu apa ekspresi akhlak? Jawabannya adalah kebaikan, al-khayraat. Dan tentang ini, dalam Al-Quran Allah Swt memerintahkan, “Fastabiqul khayraat. Berlomba-lombalah dalam kebaikan.” Jika kita meyakini Islam sebagai agama yang mulia dan unggul, maka bukti kongkretnya adalah akhlak. Bukan suara-suara berteriak. Konten dakwah ada dua. Sedangkan metodenya ada tiga. Dua konten itu adalah amar makruf dan nahi munkar. Sedangkan tiga metodenya adalah hikmah, mawizhah hasanah dan mujadalah (dialog) yang terbaik.  Sebagaimana amar ma’ruf harus dimanifestasikan dengan akhlak. Nahi munkar juga harus diwujudkan dengan akhlak.

Upaya amar ma’ruf dan nahi munkar diterapkan dalam tiga metode tadi, yakni hikmah, maw’izhah hasanah, dan mujadalah (dialog) yang terbaik. Dan ketiga metode dakwah tadi adalah ekspresi akhlak. Seperti halnya manusia, keberagamaan juga memiliki usia. Ada usia anak-anak, ada remaja, juga dewasa. Keberagamaan yang dewasa adalah saat pemeluknya menunjukkan akhlak yang baik. Karenanya, kalau umat ini mau agama Islam dirasakan baik dan luhur oleh orang-orang di luar sana, maka mereka harus menunjukkan agama agung ini dengan akhlak, bukan dengan berteriak. Juga bukan dengan kegiatan kekanak-kanakan yang mengambil hak publik orang banyak. Sebab, Nabi Saw juga menjadi uswatun hasanah karena beliau memiliki akhlak yang agung (khuluq azhim). Wa innaka la’alaa khuluqin azhiim.

Ashoff Murtadha, Pengelola Arabiyah TV Channel

Sumber: https://jabar.nu.or.id/profil/yusuf-hamka-dan-akhlak-islam-WBYzk

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *